Merancang Media Pembelajaran: Sudahkah Kita Berempati pada Murid?
19 Nov 2021 | by Alamsyah Alimuddin
Pada tahun-tahun pertama saya menjadi guru, saya selalu terkesima ketika menyaksikan seorang kawan guru mengajar dengan menggunakan media pembelajaran yang menarik. Sebab, media pembelajaran sangat membantu murid dalam belajar dan memahami konsep materi. Karena terinspirasi dengan hal tersebut, saya pun mulai menggunakannya di kelas.
Saya mencoba
membuat survei kecil-kecilan dan menanyakan kepada mereka terkaitperasaannya mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan media dan tidak menggunakan media.
Tak ada satu
pun murid yang menjawab senang dengan pembelajaran yang tidak menggunakan media dan melulu
menggunakan buku teks untuk menerangkan konten materi. Namun, anehnya, ketika
mengerjakan asesmen dari media tersebut, mereka masih sulit dalam pengerjaannya. Apa yang salah?
Wah, ternyata setelah
melakukan penelusuran, kesenangan mereka hanya sebatas kesenangan sesaat, bukan
kesenangan bermakna. Mereka hanya senang karena beban membaca buku teks setidaknya
berkurang. Pertanyaan saya, “Media pembelajaran seperti apa yang murid inginkan? Atau paling
tidak, media apa yang bisa memenuhi kebutuhan murid sehingga penggunaannya efektif?”
Tantangan saya
dimulai saat itu dan berlangsung lama. Namun, kini terjawab ketika saya mengikuti program Wardah
Inspiring Teacher 2021. Salah satu program yang membantu mengatasi kesulitan-kesulitan
saya di kelas ialah program merancang media pembelajaran.
Dari
situ, saya baru sadar dari miskonsepsi saya perihal media pembelajaran yang mengutamakan kekerenan. Padahal
untuk merancang media pembelajaran yang bermakna dan dapat menjawab kebutuhan murid
tidak perlu sempurna. Tapi yang mesti diketahui, proses merancang medianya harus
menggunakan pendekatan Design Thinking.
Apa itu
Design Thinking? Design Thinking merupakan proses yang dilakukan secara
bertahap, mulai dari
berempati kepada murid, merumuskan masalah, mencari ide dari masalah itu, membuat purwarupanya, dan
mengujicobakannya.
Saya mulai menggunakannya
dalam merancang media pembelajaran. Hal yang paling menjadi perhatian saya karena pendekatan
ini dimulai dari membangun empati kepada murid agar dapat berorientasi pada mereka.
Dari berempati, saya sangat terbantu dengan profill murid yang saya kumpulkan saat melakukan
asesmen diagnosis menggunakan Google Form.
Dari data asesmen
diagnosis tersebut, saya menemukan kecenderungan mereka. Mereka sangat senang menonton Youtube
dan film bergenre fantasi. Kecenderungan mereka saya jadikan landasan dan
mengoneksikannya dengan materi yang akan saya ajarkan, yaitu Teks Cerita Imajinasi.
Setelahnya, saya mulai
mengidentifikasi masalahnya untuk merumuskan idenya. Dari ketiga tahap awal itu, saya memutusakan
untuk menggunakan purwarupa media video. Dalam video tersebut, saya menjelaskan ciri
dan unsur dari teks narasi. Sebab, mereka masih sulit membedakan ciri-cirinya dengan
teks yang lain. Saya juga memasukkan apa yang menjadi kecenderungan mereka dengan
menyelipkan potongan film Harry Potter untuk membantu mereka memahami ciri-cirinya.
Bahwa yang dimaksud teks cerita
imajinasi ialah teks cerita yang mengandung keajaiban. Lalu, saya menjelaskan tujuan mengapa
mereka mesti mempelajari materi ini. Karena dalam teks cerita
imajinasi, mereka dapat belajar banyak dari pesan-pesan moral cerita tersebut
untuk mereka
teladani dalam kehidupannya.
Setelah purwarupanya selesai, saya mengujicobakannya kepada mereka. Saat melakukan uji coba rasanya senang sekali. Realitas yang saya hadapi dan rasakan di awal, tidak terjadi lagi. Saat memberikan asesmen untuk memantau proses perkembangan belajarnya, dengan sangat baik mereka dapat mendeskripsikan ciri-ciri atau karakteristik dari materi itu.